SLIDER

Pingsan di Museum Batik Yogyakarta

Tuesday 18 October 2016 | 27 comments

"...anakmu mungkin akan menjadi arkeolog, kurator museum, dan hal-hal yang berhubungan dengan itu..."
Saya ngekek saat mendapati kata-kata ini. Lhah, biasanya saya dan teman-teman satu keilmuan yang sering diberondong pertanyaan "Mbaknya bisa baca pikiran saya dong?, Tau kepribadian saya?, Kira-kira saya cocoknya jadi apa ya?". Yang tentu akan kami jawab dengan muka kalem. Duh, maap kami bukan tukang ramal *nyengir*.

Eh, kali ini saya yang ditebak.

***
Tebakan ini malah bikin ingatan saya jalan mundur ke dua tahun silam. Saat si anak wedok masih diperut buncit. Saat Si Ibuk sok-sok an ngidam di minggu-minggu akhir  pas perut udah mblendung gede. Sebenernya sih manfaatin cuti Si Bapak yang agak lama waktu itu. Bilang ngidam biar diturutin doang #eh ngga ding beneran ngidam kok. 

Ngidamnya simpel. Minta jalan-jalan ke museum di Jogja, seeeee....baanyaaaak-banyaaaaaaknya. Nah, gampang dipenuhin kan. Cuma butuh ketelatenan dan kesabaran. Terutama bagi Si Bapak yang mengantar dan menemani. Karena Si Ibuk perutnya udah gede. Pipi bulet. Gampang capek. Jalan bentar, ngos-ngosan minta istirahat. Dikit-dikit kebelet pipis. Habis itu haus. Hufh. Eh bentar, ini tetep simpel kan ;)?

***
Nah salah satu yang kami kunjungi adalah museum batik. 

Sebenernya, udah dari jaman mahasiswa aktif pengen ke museum batik. Cuma karena rumor tiketnya mahal eh ngga jadi pergi. Kalau ngga salah denger 20 ribuan. Dulu, denger segitu aja udah bikin mundur. Cemen banget ya. Apalah, kala itu saya memang  hanya mahasiswa biasa yang penuh perhitungan. Gimana ngga perhitungan, dulu duit segitu bisa dapet Jogja Chicken 4 paket, uey! Mewah.

Duh, jadi bahas kemana-mana.  Maapkeun.

Nah, ada kejadian yang bikin saya selalu ingat dengan museum ini. Bukan karena arsitekturnya. Kalau arsitekturnya sih biasa aja. Seperti model rumah pada umumnya. Karena memang museum ini adalah rumah pemiliknya yang dialihfungsikan menjadi ruang museum. Yap, jadi Museum Batik Yogyakarta memang bukan milik pemerintah, melainkan milik swasta/pribadi keluarga Bapak Hadi Nugroho.  

Bukan juga karena koleksinya. Eh, tapi bukan berarti koleksinya ngga bagus ya. Bagus dan banyak banget!. Saking banyaknya, ngga semua koleksi batiknya dijembreng penuh buat memperlihatkan motifnya. Tapi beberapa koleksi digulung dan dilapisi plastik persis seperti kertas kado di toko. 

Ada ribuan koleksi di dalam bangunan seluas 400 meter persegi. Mungkin karena itu kesannya jadi agak penuh. Di tiap ruangan dipenuhi papan kayu berlapis kaca untuk memamerkan koleksi. Di sisi tembok juga tidak luput  oleh pajangan, lemari, dan bingkai-bingkai koleksi.

Koleksi batiknya sangat beragam. Ada batik Jawa Tengahan: Jogja - Solo, Pesisiran : Semarang - Demak - Cirebon - Lasem, Mbayat - Klaten, Madura, dan masih ada beberapa  daerah lainnya.

Yang dipamerkan di sini bukan hanya kain batik. Ada koleksi perlengkapan membatik dan juga koleksi sulaman. Nah, saya malah terkesan dengan kebaya-kebaya sulam pitanya. Kebanyakan warnanya putih dan tepiannya disulam pita motif bunga-bunga kecil. Manis. Mengingatkan saya pada kebaya encim betawi kesukaan saya. 

Sayang, ngga banyak foto dokumentasinya jadi ga bisa nunjukin. 90% foto di sana blur. Mungkin karena Si Bapak yang biasanya moto ciamik itu ga fokus. Karena kudu nemenin istri yang lagi rewel dan rapuh. Lebay ah


Keluar dari ruangan terakhir saya emang udah rencana ngga mau langsung pulang. Niatnya, sambil istirahat dan liat-liat, saya masuk ke ruang museum yang menjual souvenir dan batik. Ngga lama disitu saya PIIINGSAAAAAN. Yang saya inget sebelumnya, badan rasanya ngga enak, ngga bisa mikir, lemes, ada aliran darah yang merosot, nggliyer. Trus ngga inget apa-apa. 

Jaaaadi...ini nih kejadian yang bikin  saya ngga akan lupa sama museum batik haha. Untung cuma ngga terlupakan. Ngga pake memalukan. Soalnya pengunjung hari itu cuma saya berdua sama suami. Lagian pingsannya juga slow motion dan cantik. Aman.

Pingsannya juga cuma sebentar banget kok. Kayak cuma semenit dua menit terus langsung sadar. Bangun-bangun udah ndlosor di bawah, ditemenin Minyak Kayu Putih, Si Bapak, Staff museum, sama Ibu Dewi. Iya, ibu Dewi, pemiliknya memang masih tinggal di sana. 

Meski pakai kursi roda ibu Dewi ikut sibuk ngurusin saya. Nenangin sambil bilang "Ngga papa, itu karena kecapekan, udah hamil besar". Terus minta staffnya buat ambilin minum lagi. Sampe nyuruh ambilin bantal-bantal batik dagangannya juga buat dipake saya yang masih terduduk di lantai. "Ngga papa dipake, biar nyaman," katanya :"). 

Ibu Dewi akhirnya nemenin saya sambil cerita-cerita sedikit tentang museumnya. Tentang impiannya dan alm Bapak Hadi dulu saat membangun museum. Tentang project museum. Dan tentang sulamannya yang pernah mendapat penghargaan. Sebuah sulaman yang dibuat kala menemai sang suami yang tengah sakit. Yang ia buat dengan penuh kesabaran dalam waktu 3,5 tahun.
Koleksi Batik
Koleksi Alat Cap Batik
Koleksi Sulaman
Saya dan Ibu Dewi - udah sadar, mau pamit pulang ;)
Museum Batik Yogyakarta 
Lokasinya di Jl. Dr. Sutomo 13A Yogyakarta. 
Buka Senin-Sabtu jam 09.00 – 15.00 WIB. 
 HTM Rp. 20.000,-  termasuk Guide. Ada pelatihan membuat batik Rp. 40.000,- per 1 jam. 
Kontak: 0274-562-338, 085643123435 (Eko), 081328199070 (Didik) atau 
email: infomuseumbatik@yahoo.com

Mendengar ceritanya dulu itu saya jadi sedikit tahu kenapa museum ini tetap berusaha bertahan menjadi milik pribadi. Karena tentu tidak mudah memberikan semua harta, sejarah, cinta, kisah, dan masa depanmu pada orang lain, meskipun ada hal baik lain yang mungkin akan didapat. 

Semoga yang terbaik untuk Ibu Dewi yang baik, juga untuk Museum Batik dan kelangsungannya ke depan. Amin.

 ***
Nah, balik lagi. Jadi apa saya percaya tebakan di atas soal anak saya?

Saya percaya kalau setiap orang sudah diberikan garis nasib dan takdir, termasuk untuk K, anak wedok saya. Tapi jika kelak dia menjadi apa yang ditebak di atas, bisa jadi karena dari dalam perut sudah terbiasa mendengar, merasa, dan ikut melangkah ke museum dan tempat heritage hehe. Jadi saya mau bilang kalau segala sesuatu itu pasti ada sebab-musababnya, termasuk dalam urusan tebak-tebakan.

Gara-gara ini, sepertinya ke depan saya akan bongkar foto-foto perjalanan museum. Dan mulai bercerita satu persatu. 



Salam, 



Kachan

#BatikIndonesia, Lebih dari Sekadar Motif dan Pengakuan Diri

Sunday 9 October 2016 | 44 comments


BATIK MAHAL GILA!!!.
Demikian judul vlog terbaru milik salah seorang Youtuber kondang beberapa waktu lalu. Yang sontak membuat saya penasaran membukanya. 

Isi vlognya diawali dengan perjalanannya membeli baju batik untuk kondangan. Sampai di rumah dia baru sadar. Harga baju batik yang dia beli di pusat perbelanjaan ternama di Jakarta itu cukup fantastis untuk kantongnya. Setelah memperlihatkan wajah miris, galau, dan syoknya, kamerapun menyorot 2 buah baju batik yang tergeletak di atas kasurnya dengan nominal pricetag Rp 5.900.000,-.

Pesan moralnya. Penting mengecek harga sebelum membeli. Kedua jangan main-main dengan batik.
***
Benarkah Batik Mahal dan Eksklusif?
Sebenarnya, saya cukup yakin. Baju batik yang ia beli dengan nominal cukup WOW itu memang sudah harga yang pantas setelah mengalkulasikan seluruh proses mulai dari kainnya, motifnya, filososfi, pewarnaannya, dan juga desainnya. Apalagi toko  yang ia datangi memang sudah mashyur dengan 'ono rego ono rupo', harganya sesuai dengan kualitasnya.

Namun, jika mengalami hal serupa  reaksi sayapun pasti tidak akan jauh berbeda dengannya. Bisa jadi akan lebih parah. Memang, mengeluarkan kocek hampir 6 juta untuk satu baju batik belum menjadi pilihan saya. Bukan karena tidak rela dan tidak mau, lebih tepatnya belum merasa mampu. Jika kelak mampu, nampaknya akan berbeda cerita.
 
Batik Kombinasi Cap dan Tulis dengan Warna Alam Milik Sekar Jatimas. Photo by Kachan
Jangankan diangka jutaan, diangka ratusan ribu untuk selembar kain batik saja masih dirasa mahal untuk sebagian orang.
  
Hal ini dibenarkan juga oleh Bu Marlina, seorang pembatik di daerah saya, Gamping, yang juga tergabung dalam Kelompok Batik Sekar Jatimas. "Mahal ya" cukup banyak orang bereaksi demikian ketika ia memberitahu harga batik tulis dengan pewarna alam yang dipatok mulai dari 500 ribu rupiah.  

Bahkan seorang teman pernah mengatakan bahwa batik tulis itu terkesan sangat eksklusif dan hanya untuk kaum eksekutif saja. 

Karena belum paham proses...
Dari sudut pandang pembeli yang hanya melihat hasil dan belum memahami proses, mungkin reaksi itu wajar.  Terlebih jika mereka sering menjumpai 'kain batik' yang dijual dengan harga jauh lebih murah. 

Namun, bagi pembuatnya tentu harga tersebut sudah sesuai. Tentu saja, karena mereka mengalami sendiri prosesnya. Ada serangkaian proses panjang yang harus dilalui dalam membatik. Yang juga membutuhkan waktu yang tidak cepat dan ketelatenan yang luar biasa. 

Baca juga: Tenun Lurik Jogja, Mengangkat Potensi Kearifan Lokal yang [Belum] Punah

Diawali dengan proses Ngemplong, mencuci kain mori untuk menghilangkan kanji. Dilanjutkan dengan Nyorek, proses membuat pola. Bisa secara langsung maupun dijiplak. Kemudian Mbathik, yaitu menorehkan malam pada mori. Setelah itu Nembok, menutupi dengan malam bagian-bagian yang tidak boleh terkena warna dasar. Dilanjut lagi Medel, proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke cairan warna secara berulang-ulang sampai warna yang diinginkan.  Belum berhenti, masih ada Ngerok, yaitu proses mengerok malam pada kain secara hati-hati kemudian dibilas bersih. Kemudian Mbironi dan Ngrining, menutupi warna biru dan mengisi bagian yang belum diwarnai dengan motif tertentu. Menyoga, mencelupkan kain ke dalam capuran warna cokelat (dulu memakai kayu soga). Yang terakhir adalah Nglorod, melepaskan seluruh malam dengan memasukkan kain ke dalam air mendidih.  

Proses Medel. Photo by Kachan
Tempat dan Perlengkapan Nglorod Batik Sekar Jatimas. Photo by Kachan
Njemur Batik 'Parijoto Salak' sebelum Diwarnai Kembali. Photo by Kachan
Prosesnya memang tidak terpatok harus demikian. Semua menyesuikan daerah dan kebiasaan masing-masing pembuat. Namun secara umum proses utama yang pasti dilakukan sama. Membuat pola, membatik dengan malam (baik tulis dengan canting maupun cap), dan proses pewarnaan yang berulang-ulang.
Dan proses ini semua tidak bisa instan. 
Bu Marlina menginfokan, untuk menghasilkan kain batik cap saja diperlukan waktu kurang lebih 5 - 10 hari. Untuk  batik campuran cap dan tulis agak lebih lama. Mencapai sekitar 2 minggu. Untuk batik tulis tentulah yang paling lama. Rata-rata prosesnya sebulan. Bisa lebih lama tergantung motif dan kerumitannya.

Segala proses dan lama waktu pembuatannya inilah yang menjadi sumber harga kain batik. Belum lagi jika batik tersebut buatan lama, langka, bermotif unik, bersejarah, dll. Pasti nilainya akan semakin bertambah lagi. 

Masih merasa batik tulis mahal dan eksklusif? Akhirnya semua ini menjadi relatif, bukan?

Karena rentang harga yang jauh...
Nampaknya, selain karena orang belum paham dan meresapi proses pembuatannya yang tidak gampang, rentang harga batik di pasaran yang terlalu jauh juga bisa menjadi alasan lainnya. 

Di suatu tempat kain batik bisa dihargai ratusan hingga jutaan perlembar. Di tempat lainnya, dengan uang 25 ribu - 50  ribu  sudah bisa memperoleh sebuah baju batik printing. Sangat timpang bukan? Karena jurang perbedaan harga,membuat satu pihak menjadi terkesan eksklusif sedang pihak lain menjadi merakyat. 

Batik yang Bukan Sekadar Motif
Yang perlu diluruskan, batik printing sebenarnya itu bukan tergolong batik. Agak salah kaprah ketika mengkategorikannya batik. Lebih tepatnya, ia adalah kain yang bermotif batik. Harganya demikian bisa jauh lebih murah karena tidak melalui proses membuat batik semestinya, melainkan melalui proses printing itu sendiri.

Sayangnya belum semua orang memahami ini. Untuk membedakan mana yang benar-benar batik dan yang hanya bermotif batik. Bagi mereka kain dengan motif Sekar Jakad, Sidomukti, Kawung atau Mega Mendung ya pasti batik. Padahal belum tentu. Karena batik bukan hanya sekadar motif namun juga berkaitan proses pembuatannya. 

Batik Printing Inovasi?
Namun demikian, ada pula yang  menganggap bahwa batik printing adalah salah satu produk inovasi perkembangan jaman dalam dunia batik. Dengan ini produksi batik bisa lebih cepat memenuhi permintaan pasar. Batik juga lebih bisa dinikmati semua kalangan karena menjadi ramah dikantong. 

Benarkah demikian? 
Bagi saya tidak. Lagi-lagi karena batik printing sendiri tidak bisa disebut batik. Menilik kembali pada pengertian dasarnya, bahwa batik adalah proses menulis/melukis di kain dengan media malam.  Maka printing yang tidak dilukis langsung maupun menggunakan malam tidak masuk kategorinya. Meskipun motif yang diprint memuat motif batik pada umumnya.

Berbeda dengan printing, batik cap masih bisa disebut sebagai inovasi dalam batik. Pembuatan pola dan penorehan malam digabung jadi satu dalam inovasi alat cap. Masih ada proses pelukisan maupun penggunaan malam meskipun dengan alat cap. 

Inovasi Edukasi
Sebenarnya, hal ini bukan perkara benar dan salah. Bukan berarti keberadaan  printing motif batik adalah salah dan harus dilarang beredar. Tidak demikian. Kita bisa melihatnya dari sudut pandang lain. Yang satu adalah produk perkembangan fashion, yang satunya produk budaya. Meski seakan sama sebenarnya masing-masing agak berbeda jalan. Maka yang harus diluruskan dan dijelaskan adalah perbedaan jalannya ini.

Mungkin untuk meluruskannya butuh inovasi lain yang tidak melulu berkaitan dengan proses produksi. Di tengah perkembangan era sekarang yang mulai menjauhi tradisi nampaknya inovasi dalam edukasi pengenalan batik itu sendiri juga perlu.

Masyarakat harus dibuat untuk lebih tahu makna dan nilai dari tradisinya ini. Harapannya, setelah paham orang akan  cenderung lebih menghargai. Sehingga bukan lagi hanya melihat 'harga fisik' dari produk budayanya.

Nah, peran inovasi dalam edukasi ini tentu bisa diambil siapa saja. Pemerintah, pemerhati, pemangku budaya, dan tentu saja para pelaku usaha. Bentuk edukasinya bisa bermacam-macam. Mulai dari informal hingga formal, sederhana hingga terkondisikan khusus.

Saya ambil contoh Mas Pop, seorang pelaku usaha batik. Pria ini secara tidak sengaja saya temui kemarin di salah satu pasar mingguan yang sedang marak di Jogja. Dia membuka lapak batik lasem di sana. Sekilas saya tahu kalau kain batik yang dibawanya 'bernilai'. Meski sejak awal tahu kami tidak berniat beli, beliau tetap ramah menjelaskan batiknya itu. Mulai dari sejarahnya, pembuatnya, motifnya, dan merembet ke berbagai hal yang terkait. Kami juga dipersilahkan memegang dan merasakan 'kekhasan'nya yang memang berbeda. Hingga kami yang mendengar akhirnya cukup paham asal muasal 'nilai harga' batik tersebut. 

Dari situ saya tahu beliau bukan hanya sekedar berjualan namun juga mengedukasi tentang batik. Hal yang belum banyak saya jumpai dari penjual batik.
Mas Pop Menjelaskan Batik dan Lasem. Photo by Kachan
Batik Lasem Mas Pop. Photo by Kachan
 
 

Sepertinya, peran konsumen dalam proses edukasi batik juga penting. Setidaknya kita bisa mengubah peran aktif menjadi lebih pasif. Caranya, dengan belajar mengubah reaksi "Kok mahal ya?" dengan "Apa yang membuat harga batiknya sekian...?". Ibaratnya, ini membantu membuka jalan untuk mendapat edukasi langsung tentang nilai batik tersebut.
***
Pengakuan dunia pada batik Indonesia 2009 silam memang menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam batik. Hari batik ditetapkan. Permintaan pasar meningkat. Semua berlomba ingin memperlihatkan pada dunia warisan budayanya itu.  Kain-kain bermotif batik (bukan batik) semakin banyak bermunculan. Bahkan ada yang bukan dipasok dari negeri sendiri. Kontradiktif. Ini akhirnya malah menjadi PR baru dalam dunia batik.

Kini, sudah sekian tahun selepas perayaan itu. Sudah saatnya kita juga perlu beranjak untuk memahami nilai produk budaya lebih baik. Belajar mengerti dan menghargai juga merupakan salah satu gerbang untuk ikut melestarikannya. Karena kita akan belahar tidak sekadar melihat harga fisik saja. 
Semoga inovasi edukasi bisa menjadi gerbang untuk belajar bersama. Dan menjadi salah satu solusi bagi para penjaga produk budaya yang tengah memperjuangkan tradisi di negeri ini.

Dan untuk kita semua, jangan sampai hanya tenggelam dalam euforia pengakuan diri dari dunia namun mengenyahkan makna produk budaya itu sendiri. Lagi-lagi, karena batik lebih dari sekadar motif.



Salam Budaya, 


Kachan

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
- Wawancara Ibu Marlina, Ketua Batik Sekar Jatimas, Gamping 
- Proses Pembuatan Batik : http://www.rumahbatik.com/artikel/130-proses-pembuatan-batik.html 

© People & Place • Theme by Maira G.