SLIDER

[ Tea and Koffie ] Tangga Batu dan Memori tentang Gunung Es

Saturday 15 April 2017 | 10 comments




Ada perasaan aneh ketika aku menuruni sebuah tangga batu menuju bangunan yang berada enam setengah meter dari permukaan tanah.

Ini terjadi beberapa waktu yang lalu. Di waktu yang cukup  hening, dengan  cahaya pagi yang tak berlebih, dan sedikit aroma bebatuan tua.


Sekilas di awal kedatangan. Bangunan ini cukup membuatku kaget. Keberadaannya tidak seperti bangunan masa silam sejenis yang pernah kudatangi. Sesaat setelah kendaraanku berhenti tepat di lokasi yang ditunjukkan oleh GPS dan dilengkapi pula dengan papan nama tempat tersebut, aku tidak ‘melihatnya’. Bangunan itu tidak nampak. 

Setelah memarkir kendaraan dan berjalan mendekati pintu masuk kebingunganku terjawab. Rupanya bangunan ini bukan ‘tidak terlihat’ melainkan  ia tenggelam di bawah tanah. Hanya  bagian puncaknya yang terlihat menyembul melebihi permukaan tanah. Sedangkan sebagian besar – badan dan pondasinya ada di bawah permukaan tanah.

Ada empat tangga di tiap penjuru arahnya untuk turun ke arah bangunan utama dan tiga perwaranya. Kupilih tangga Selatan yang terdekat denganku untuk menuruninya.

Dilangkah turunku yang ketiga kuhentikan langkah. Ada rasa enggan untuk meneruskan langkah.

Aku tercenung. Lantas mengarahkan pandangan keseluruh area yang ada di bawahku. Menelusurinya baik-baik dengan indera. Sembulan stupa dan sebagian besar badannya yang berada di bawah permukaan tanah sekitar sejak awal memang mengingatkanku akan fenomena gunung es.

Lamat-lamat memori tentang ulasan fenomena gunus es milik Bapak Janggut Putih bermata Tajam, Freud, menyeruak.
Kesadaran dan ketidaksadaran bagaikan fenomena gunung es di lautan,” menurutnya.
Kesadaran hanya bagian kecil dari puncak gunung es yang nampak di permukaan laut. Sedangkan bagian terbesarnya – ketidaksadaran terbenam di bawah permukaannya. Di area ketidaksadaran inilah berbagai insting dan pengalaman-pengalaman tersimpan. Ter-repress.

Apa yang ada di dalam ketidaksadaran seringkali menimbulkan kecemasan dan rasa tak nyaman. Untuk itu, manusia terbiasa  membuat jaring penutup di batas permukaan. Menahan agar ia tak keluar. 

Sembulan stupa yang bagaikan pucuk gunung es. Dan sebagian besar  badan candi  di bawah yang mengingatkanku badan gunung es yang tertanam di bawah laut. Dengan pengandaian memoriku sendiri aku telah memindahkan wujud gunung es dalam candi di hadapanku.

Mungkin ini yang membuatku sempat merasakan ketidaknyamanan saat menuruninya. Karena tanpa sadar menuruni tangga ini menjadi miniatur bagiku berjalan memasuki alam bawah sadar.

Kuayunkan langkah perlahan dengan perasaan jauh lebih baik. Toh tidak ada salahnya berjalan memasuki alam ketidaksadaran. Mungkin ‘tangga pintu’ nya terbuka karena memang sedang butuh untuk didatangi.
Photo by Swesthi Charika
Photo by Swesthi Charika
Photo by Swesthi Charika
Photo by Swesthi Charika
Photo by Swesthi Charika



Lewat sebuah tangga yang tersusun elok menuju sebuah area yang pernah terkubur dari berabad silam. Aku telah diingatkan oleh sebuah pesan.

Sibuknya manusia menjaga jaring penutup membuatnya lupa bahwa ada lorong pintu antara kesadaran dan ketidaksadaran. Yang terkadang harus dibuka – tutup agar keseimbangan terjejak.



Candi Sambisari, April 2016
Salam,


Tea and Koffie  
------------------------------------------------------------------------------------------

Tea and Koffie adalah catatan dan celoteh iseng 2 orang kontradiktif. Seorang penyuka teh yang tidak boleh meminum teh. Dan seorang penyuka kopi yang tidak disarankan meminum kopi.
© People & Place • Theme by Maira G.