SLIDER

Pulang | Tere Liye

Pulang | Tere Liye

Sunday 20 December 2015 | 2 comments

Selalu ada 'rasa' yang berbeda jika kata ini tergaung. Baik ketika didengar, dibaca, maupun diucapkan. Mungkin memang sejatinya ia adalah sebuah alarm pesan khusus yang ditanam ditiap diri. Maka semenjak awal kata tersebut tertera di muka novel. Ia sudah menelisik masuk ke sanubari. PULANG.

***   
Sinopsis
"Jika setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia, sedih, takut, jijik, dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut". (hlm 1)
Saat itu usianya 15 tahun. Namun, anak lelaki itu tak punya lagi rasa takut. Sebuah ‘pertarungan’ mencekam di tengah hutan terdalam Bukit Barisan telah menghilangkan satu emosi itu darinya. Disaksikan beberapa orang yang bersamanya, ini menjadi awal kebenaran bahwa ia ‘berbeda’.

Seakan sudah ditakdirkan. Apa yang terjadi malam itu juga menjadi tiket baginya untuk keluar dari kampungnya. Ikut ke kota provinsi bersama seorang Tauke kenalan lama ayahnya, penguasa keturunan China. Bujangpun berpisah dari Samad dan Midah - orangtuanya. 

20 tahun kemudian, Bujang hanya menyisakan 2 hal dari masa lalunya. Yang pertama, ia masih memegang teguh pesan ibunya sebelum ke kota. Kedua, ia masih menjadi sosok yang tak punya rasa gentar. 

Selebihnya, ia berubah. Bujang adalah sarjana lulusan dari universitas terbaik di negeri. Peraih 2 gelar master di luar negeri. Ia mampu menembak 12 sasaran bergerak dalam 6 detik. Menguasai teknik melempar shuriken- senjata ninja. Dan pernah pada suatu pertandingan yang hanya disaksikan sedikit orang, ia dengan mudah mengalahkan atlet lari tingkat dunia.

Hebat sekaligus mengerikan. Ia bertransformasi menjadi sosok jenius dan juga kuat. Paduan yang sempurna untuk perannya sebagai tukang pukul, sekaligus anak angkat Tauke dari Keluarga Tong. Yang kini telah menjadi penguasa shadow economy nomor wahid di negaranya. Bujang mendapat tugas khusus dalam menyelesaikan masalah serius keluarga dengan kolaborasi otak maupun ototnya. Si Babi Hutan, begitu sekarang orang memanggilnya.

Di luar kehidupan sekarang dan pekerjaannya, Bujang mulai diperlihatkan banyak hal. Tentang masa lalu orangtuanya. Tentang orang-orang di sekitarnya. Juga tentang keberadaannya di rumah keluarga Tong. Bahwa segala hal yang ada hanya bagian dari keterkaitan hidup. Masa lalu, sekarang, dan ke depan.  

Belum selesai urusan dirinya. 
Pun ia harus kembali bergelut dengan peperangan dan juga penghianatan.


*** 
Saya harus mengakui bahwa ‘pulang’ menjadi pengobat bagi saya yang absen membaca sebulan ini. Pencarian diri, religiusitas yang tak tergembar-gemborkan, dengan balutan action dan dunia kelam. Lengkap!

Ia menjadi bisa dinikmati secara dalam bagi mereka yang sedang ingin ‘mencari’. Juga tetap bisa disukai mereka yang hanya ingin mencari sensasi membaca aksara.


Tere Liye membangun setting tempat dari suasana desa sampai kehidupan kota yang modern sekarang. Mengawali dari sudut kedalaman hutan Bukit Barisan, berangsur menjalar ke kehidupan kota provinsi. Melaju ke dunia sentral ibu kota. 

‘Shadow Economy’ ekonomi bawah tanah, yang gelap, illegal, penuh intrik yang menjadi latar kehidupan peran utama terasa cukup kuat. Seperti biasa, penjelasan penulis selalu mampu membuat tiap hal sangat nyata. Mudah dipahami dengan baik. 

Detail-detail kecil namun mengena membuat makin apik. Memperpendek jarak antara pembaca dan tokoh. Seperti diceritakannya tentang  ‘amok’ ritual khusus ‘tukang pukul’ untuk naik kelas. Juga tentang proses inisiasi bagi yang telah resmi menjadi tukang pukul. 

Alur kisah maju-mundur memang bagaikan pisau bermata dua. Untungnya dalam 'pulang' penulis mampu menjadikannya lebih condong pada manfaat yang berujung kekuatan. Mampu memilih situasi yang pas ketika harus membawa kisah kembali masa lalu. Menyiapkan plot yang tepat dan tidak bertele-tele. Lantas menyambungkannya kembali ke masa sekarang. 

Ah ya, penulis satu ini juga tak pernah menyiptakan peran tak bermakna. Ia yang tersebutkan dalam cerita selalu memiliki andil dan terkait. Bukan hanya peran asal lewat. Dan Tere Liye mampu menjelaskan tiap peran dengan sangat pas tanpa dipaksakan. Seperti untuk mengingatkan kita bahwa setiap orang yang ada dihidup kita bukan tercipta kebetulan. Mereka dan kita bagaikan pelengkap peran dari hidup masing-masing. 

Pada akhirnya semburat makna dari buku ini bahwa...
‘Pulang’ bukan perjalanan menuju sebuah tempat. Bukan rasa bahagia untuk beranjak ke pangkuan bapak-ibu. Juga bukan ketakukan menuju akhir kehidupan. Karena pada hakikatnya ‘pulang’ adalah kembali pada dirimu sendiri. Pulang pada hakikat kehidupan.  

 
Pengarang : Tere Liye
ISBN : 978-602-082-212-9
Terbit : Jakarta, 2015 
Halaman :iv+ 400 Halaman
Harga :Rp. 65000,-
Berat : 300 gram
Dimensi : 13.5 X 20.5 Cm
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Salam 



Kachan

Ruth Sahanaya - Tentang Cintanya di Jogja

Sunday 6 December 2015 | 4 comments



Memori kau membuka luka lama
Yang kuingin lupa...
Memori tolong daku pergi jauh
Janji tak 'kan kembali memori...
Selasa malam, disebuah kursi belakang Imperial Ballroom Sahid Rich saya teronggok manis sambil ikut mendendangkan lagu ini.

Ah, sebenarnya saya tidak benar-benar tau lagunya. Belum pernah mendengar. Tapi ternyata bisa ikut menyanyikan. Bahkan menjadi hapal setelah penyanyinya mengulang  lirik :). Ya, memang ciri khas lagu sebelum 1990-an. Ringan, mudah dihapal dan syahdu. 

Mama Uthe dan konser tunggal pertamanya di Jogja setelah 30 tahun berkarya... 

R mengiyakan ketika saya meminta ijin untuk menonton konser pertama Mama Uthe di Jogja. Saya tau R pasti agak kaget karena sebelumnya Mama Uthe  tidak masuk dalam list 'penyanyi yang konsernya ingin saya datangi'.

Saya anggap awal kehadiran saya disitu sebagai efek korban promosi media. Hampir setiap membuka timeline twitter saya melihat promonya. Dan itu terjadi bertubi-tubi sepanjang 2 minggu. Bahkan ketika iseng membuka channel Jogja TV pun sedang mempromokan acara ini. Sepertinya semesta mendukung .

Emm alasan sebenarnya. Saya rindu nonton konser musik. Sudah hampir 2 tahun ini saya tidak mengalami momen terapi suara  - menikmati konser musik. 

Dan konser Mama Uthe muncul disaat yang tepat. Meski tidak termasuk dalam fans fanatik, saya tau beberapa lagunya. Saat kuliah, saya menjadi hapal beberapa lagunya ketika Ketua Mapala kampus yang berwajah garang dan bringas menjadikan lagu Mama Uthe playlist yang diputar sekian minggu di sekretariat. Oh baiklah, karena imej wajah tak menentukan selera musik :)

Lagipula, saya beranggapan tipikal konser Mama Uthe pasti akan nyaman dinikmati meski datang sendirian. Bagian sendirian sengaja saya bold karena ingat sapaan Mama Uthe dari atas panggung  'saya yakin pasti ngga ada yang datang sendirian kan?'. Hanya saya dan 2 mamah-mamah di sebelah saya yang tau bahwa keyakinan Mama Uthe salah hehe.

***

Bersinarlah bulan purnama
Seindah serta tulus cintanya
Bersinarlah terus sampai nanti
Lagu ini kuakhiri...

Saya bahagia, mendengar lebih dari 20 lagu dalam 2 jam yang terlantun dari seorang Diva. Ya, ini pertama kalinya saya mendengar langsung performance seorang Diva. Mendengarkan, ikut berdendang, bertepuk, ikut menari, dan menikmati.

Saya senang melihat Papa Jeffry Waworuntu, suami sekaligus manajer, yang duduk tepat di depan saya, sibuk bekerja dan wara wiri untuk istrinya. Selalu ada aura manis dari sepasang suami istri yang bekerja bersama dengan penuh cinta.

Saya bahagia melihat penikmat lain yang sebagian besar mamah papah riuh, bernyanyi, tertawa, dan bersenang-senang. Saya mulai kembali meyakini  'menua itu pasti, dewasa itu pilihan, dan menikmati hidup adalah keharusan...'

***
Ketika jemu membaca, menulislah. Saat jemu menulis, melihatlah. Saat jemu melihat, mendengarlah. Karena setiap lelah ada pengobat lainnya.

Terimakasih Mama Uthe, untuk konsernya yang cukup untuk menerapi diri ditengah kepulan jemu yang muncul :)
Selamat 30 tahun berkarya Mama Uthe, 
Senang menjadi salah satu penikmat konser 'tentang cinta'-nya yang penuh cinta di Jogja..

Sampai jumpa kembali di Jogja, 

Salam,


Kachan

© People & Place • Theme by Maira G.