Cahaya Surga, di sana
Sunday, 15 March 2015 | 16 comments
"R, ayo kita lihat cahaya surga"
"Kapan?"
"Sekarang.."
"Kapan?"
"Sekarang.."
Satu potong pakaian, kamera, dan beberapa keperluan secukupnya langsung masuk ke dalam ransel. Sembari R mengeluarkan motor dari garasi, saya mengawali pamit ke Bapak Ibu yang tengah duduk santai di ruang TV.
"Mau kemana?", tanya ibu sebelum saya sempat berkata.
"Ke Kerajaan Langit, Pak, Bu", jawab saya sambil tersenyum.
"Ya, hati-hati", jawab mereka sambil terkekeh. Tidak bertanya lebih lanjut, karena sudah terbiasa dengan keimpulsifan anaknya ini.
***
Jalanan Jogja-Magelang malam itu tidak cukup ramai. R fokus bermotor. Sedang saya sibuk googling beberapa tempat menginap di kawasan Borobudur. Sesekali kami berhenti untuk menelpon ketersediaan tempat menginap. Namun, semua tempat yang kami inginkan penuh. Beginilah risiko pergi tiba-tiba sekehendak hati.
Saat hampir memasuki kota Magelang, saya baru ingat sebuah tempat yang hampir puluhan kali saya inapi untuk kegiatan outdoor. Rasanya tempat tersebut tidak cukup jauh pula dari lokasi yang ingin kami datangi. Segera saya menghubunginya, dan syukurlah, masih ada kamar yang tersedia. Malam itu kamipun menginap di sana, Pondok Tingal.
Pukul setengah 4 dini hari, sebelum alarm berteriak kami sudah terbangun. Tepat setelah menunaikan sholat Shubuh kami bergegas. Untungnya, semalam staf hotel sudah menjelaskan rute ke tujuan kami yang memang benar tidak jauh dari hotel.
***
Tidak sampai 15 menit kami sudah sampai. Tapi masih ada jalan yang harus kami lalui dengan trekking. Tidak begitu jauh. Cukup untuk membuat badan bergerak serta napas sedikit bernyanyi. Sampai di atas, sudah banyak orang dengan tujuan yang sama dengan kami. Rupanya kerajaan langit memang sedang mengadakan open house besar-besaran.
Rasa dingin menghilang..
Bersama tamu terundang lainnya, kami dengan khidmat menatap ke arah yang sama. Siap dengan kamera pembuktian masing-masing. Sedang saya dan R harus sedikit menelan rasa pahit akibat kamera kami yang hanya teronggok karena baterai mati. Kedinginan. Tak apa, cukuplah dengan kamera ponsel yang ada. Tak ada yang bisa menghalangi kami untuk menyaksikan cahaya surga yang menetes ke bumi melalui celah di bukit ini, Punthuk Setumbu.
Bersama tamu terundang lainnya, kami dengan khidmat menatap ke arah yang sama. Siap dengan kamera pembuktian masing-masing. Sedang saya dan R harus sedikit menelan rasa pahit akibat kamera kami yang hanya teronggok karena baterai mati. Kedinginan. Tak apa, cukuplah dengan kamera ponsel yang ada. Tak ada yang bisa menghalangi kami untuk menyaksikan cahaya surga yang menetes ke bumi melalui celah di bukit ini, Punthuk Setumbu.
Mereka bilang Juli adalah saat Surya begitu anggun muncul di antara Merbabu - Merapi.
Mungkin benar. Namun, buat saya dan R, November kala itu tetap memberikan detak syukur, ketika melihatnya tiba-tiba muncul. Seakan menjadi pembuka sebuah pagelaran besar.
Mungkin benar. Namun, buat saya dan R, November kala itu tetap memberikan detak syukur, ketika melihatnya tiba-tiba muncul. Seakan menjadi pembuka sebuah pagelaran besar.
Ketika ia perlahan-lahan naik.
Kerajaan langitpun mulai menghampar dalam pandangan mata.
Saat itulah kami melihatnya.
Serpihan cahaya surga, di sana. Ketika Merapi dan borobudur tampak tak berpijak lagi ke bumi. Yang tertinggal hanya rasa syukur.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nirvana Sunrise, begitu beberapa orang menyebutnya. Konon, seorang bapak penjual Mie Jawa memberitahukan celah surga ini pada fotografer berkebangsaan Korea. Dari situlah, pagelaran langit ini terkuak.
Salam,
Kachan