SLIDER

Ketoprak Pawarso Budaya, Wujud Pengembangan Rakyat dari Alokasi Dana Desa

Friday 16 December 2016 | 13 comments


Sebuah Desa Bernama Sodanten
Saya tinggal di sebuah desa kecil bernama Sodanten (ten-nya dibaca seperti ketika mengucapkan Kota Klaten). Letaknya di bagian Barat Jogjakarta. Masuk wilayah Sleman namun hampir berbatasan dengan Bantul. Ditinggali kurang lebih 200 Kepala Keluarga.
 
Meski secara geografis wilayahnya cukup kecil, kegiatan di desa kami cukup padat merayap. Mulai dari kegiatan ibu-ibu, meliputi Dasawisma (setiap 10 rumah), kegiatan RT & RW, dan KWT (Kelompok Wanita Tani). Untuk bapak-bapak, ada ronda, kegiatan RT & RW, Gorsip (Gotong Royong Simpan Pinjam), ORGOS (Organisasi Gotong Royong Sodanten). Untuk anak dan pemuda kegiatannya dinaungi karang taruna PESO (Pemuda Sodanten). Selain itu masih ada kegiatan lain yang bersifat umum dan keagamaan. 

Yang perlu digarisbawahi semua kegiatan di sini bersifat aktif. Bisa dibayangkan bukan bagaimana intensitas dan kelekatannya. 

Ketoprak Pawarso Budaya
Di luar berbagai kegiatan ini. Ada lagi satu kegiatan yang baru saja diresmikan di desa kami pertengahan tahun ini, yaitu Ketoprak Pawarso Budaya. Pawarso sendiri adalah singkatan dari Paguyuban Warga Sodanten. Jadi desa kami punya paguyuban ketoprak sendiri :D.


Menurut Wahyuti, salah seorang pengurus RT, memang potensi yang sangat nampak dari Sodanten adalah dalam bidang seninya. Orang-orangnya suka belajar seni terutama tradisional. Dan memang ada beberapa orang yang sudah terjun dalam dunia panggung, baik seni tari maupun seni olah suara. Sehingga ada yang bisa membantu mengakomodir.


Seingat saya sendiri sebagai salah satu warganya, sejak dahulu kesenian memang menjadi hal yang tidak terpisahkan dari Sodanten. Event kesenian selalu menjadi hal yang digiatkan dengan maksimal. Baik oleh yang mencanangkan, yang membuat, yang melakukan, maupun yang menontonnya.


Kira-kira 4-5 tahun yang lalu Sodanten menambah sajian utama dalam pentas seni 17-annya, yaitu ketoprak. Sejak awal digarap dengan apik. Ada proses latihan intensif dari pemain maupun pemusik gamelannya. Saat tampil dibantu oleh soundsystem, setting panggung, serta atribut dan riasan yang lengkap. Dan tentu saja cerita yang menarik dan  para pemain yang berbakat. 

Imbasnya, tahun-tahun berikutnya Ketoprak 17-an di desa kami menjadi lebih dikenal. Tidak lagi hanya ditonton oleh masyarakat desa namun juga perangkat desa dan pejabat pemerintahan. Maka, tidak jarang kepala dukuh, lurah, camat, dan perwakilan DPRD ikut hadir menonton meski terkantuk-kantuk. Maklum, ketopraknya biasa selesai hingga dini hari. 

Ketoprak Pawarso Budaya - Agustus lalu. Foto: dok.pribadi
Kisah Bandung Bondowoso & Roro Jonggrang, Agustus lalu. Foto: dok.pribadi
Sebelum akhirnya diresmikan tahun ini, kiprah Ketoprak Pawarso Budaya  memang cukup meningkat. Penampilannya beberapa kali diliput oleh koran online setempat. Pernah juga Ketoprak kami diminta tampil dibeberapa tempat. Atau kali lain diminta mewakili wilayah setempat untuk lomba. Dan salah satu hasilnya adalah menyabet juara 3 dalam Lomba Ketoprak dalam Festival Pertunjukan Rakyat mewakili Kabupaten Sleman. 

Juara 3 Festival Pertunjukkan Rakyat . Foto milik Irkhas

liputan koran online 1. foto: krjogja.com

liputan koran online 2. foto: krjogja.com
Wujud Alokasi Dana Desa
Meskipun demikian, menelurkan paguyuban baru bukan hal yang mudah dan instan. Contohnya  Pawarso Budaya ini. Diawali dengan adanya bibit-bibit ketoprak dalam desa. Digerakkan oleh para motor yang berbakat. Didukung oleh para pengurus yang mampu mencium potensi  desanya. Dan disupport pula dalam bentuk dana dari dana desa sebagai wujud pengembangannya.  
Ada dana desa yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan desa, termasuk seni” begitu yang disampaikan Bapak Wawan, salah seorang ketua RT. Terlebih karena masyarakatnya suka berkesenian dan potensial, jadi sejak awal sudah ada alokasi dana desa untuk ini. Dan buktinya aliran dana tersebut memang membuahkan hasil yang baik. 

Dana desa sendiri adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa 
yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat (kemenkeu.go.id).

Tidak bisa dipungkiri jika dana desa ini menjadi salah satu support yang nyata dalam pengembangan masyarakat. Di desa saya misalnya, keberadaannya bisa membawa ketoprak desa yang semula hanya untuk menggembirakan warga menjadi lebih profesional. 

Siklus Rakyat dan Negara
Soal dana desa ini jika diturut sebenarnya adalah dana dari pemerintah yang bersumber dari rakyat. Yang menarik, jika prosesnya berjalan dengan baik dan tepat sasaran, bisa menjadi siklus yang saling memberi manfaat. 

Jadi, mengambil contoh ketoprak desa kami, urutannya akan seperti ini: uang dari rakyat - untuk negara - kembali ke masyarakat (alokasi dana desa tepat sasaran: mengembangkan ketoprak) - aset budaya dan negara. Bisa jadi akan bersiklus lagi. Misalnya, jika pemerintah melihat potensi ini dan akhirnya memberi dana khusus untuk lebih mengembangkannya lagi. Putaran manfaat akan bergulir lagi. Bukan hal yang tidak mungkin bukan?

Terlepas dari itu, pengalokasian  dana desa tidak serta merta bisa disamaratakan tiap desa. Masing-masing desa harus jeli melihat potensi maupun kebutuhannya. Di satu desa mungkin ada kebutuhan fisik yang lebih harus diselesaikan. Maka alokasi itu yang harus diprioritaskan. Namun, jangan sampai pandangan kita akan pembangunan dan pengembangan terpatok hanya pada aspek fisik saja. 

PRnya, mari saling berkontribusi agar siklus manfaat rakyat dan negara ini bisa terus berjalan dengan baik.





Salam, 



Kachan 



Sumber data:
-wawancara pengurus desa sodanten : Bapak Wawan & Ibu Wahyuti
-http://www.kemenkeu.go.id/dana-desa
-http://krjogja.com/web/news/read/8012/Peringati_Keistimewaan_DIY_Pemuda_Sodanten_Ketoprakan 
-http://krjogja.com/web/news/read/7485/Lawan_Narkoba_Melalui_Seni_Budaya 



© People & Place • Theme by Maira G.