Seni Menunggu dan Era Digital
Alam nyata memang nampak sederhana dibandingkan alam digital yang nampak modern
***
Waktu
kecil keluarga saya pernah menjalani LDR sekitar 3 tahun lamanya. Saya,
ibu, dan kakak-kakak saya tinggal di Jogja sedang Bapak bekerja di
kota lain yang cukup jauh. Otomatis saya dan Bapak tidak bisa bertemu
setiap hari. Beliau pulang sekitar 1-2 minggu sekali.
Rupanya
garis hidup membuat hal ini kembali terulang di era yang berbeda. Kini,
saya dan suami sedang menjalani LDR. Saya dan anak saya yang berusia 19
bulan, K, tinggal di Jogja, sedangkan suami saya, R, bekerja di kota
lain. Kota yang sama dengan tempat Bapak saya bekerja dulu. Bahkan,
kesamaan kami tidak berhenti sampai disitu. Saya dan anak saya
menjalani LDR di desa yang sama dan rumah yang nyaris sama persis.
Karena rumah yang saya tempati sekarang berada tepat di samping rumah
yang keluarga saya tinggali dulu :')
Namun
ada perbedaan yang cukup signifikan antara saya dulu dan K sekarang
ketika menjalani LDR. Terutama dalam komunikasi. Saya ingat betul
sebagai anak paling kecil saya yang paling sering menanyakan Bapak saya.
Sedang kakak-kakak saya yang terpaut cukup jauh sudah cukup paham
dengan situasi LDR. Karena itu saya harus selalu ikut kalau Ibu saya
pergi menelpon Bapak di wartel. Iya, di desa saya kala itu memang belum
dilewati jalur telepon (eh, sampe sekarang, ding!). Jadi, kami harus
jalan kaki ke wartel di desa sebelah. Jadwal menelpon Bapak biasanya
sekali - dua kali seminggu tergantung kepentingan dan juga tingkat
ke-kangenan kami hehe. Juga tergantung uang kayaknya deh. Soalnya
interlokal kan, mahal! :((
Dan
sekarang? di era digital ini. Komunikasi lintas jarak benar-benar
dipermudah. K dan bapaknya memang LDR. Tapi semenjak bangun tidur sampai
mau tidur lagi bapaknya bisa tahu segala macam hal yang dilakukannya.
Tanya "Makan apa?" (cekrak cekrek! kirim). Bapaknya pun tau. "Pake baju
apa?" (cekrak cekrek!kirim). Bapaknya pun lihat. "Main apa?" (videoin!
kirim). Bapaknya bisa liat adegan plus ekspresi anaknya dengan
sejelas-jelasnya.
Belum lagi ada fasilitas skype, whatsapp, dll yang mendukung face time-an. Bisa ngobrol sambil saling liat dan saling tahu sedang apa, di mana, ngapain, sama siapa. Dipermudah banget ya?. Untuk segala kemudahan yang ada, saya cukup bersyukur berada di era ini ketika harus menjalani LDR :')
Di luar rasa syukur saya sekarang, ada hal lain yang saya rindukan dari era LDR saya di masa kecil...
Ada
beberapa hal yang saya ingat sendiri, dan beberapa hal yang diingatkan
oleh Ibu saya. Dulu, jika saya agak rewel karena kangen dan tak henti
menanyakan Bapak, Ibu saya selalu mengalihkannya dengan mengajak saya
melakukan banyak hal. Sebut saja itu 'seni menunggu'.
Mulai
dari mengajak memanen buah ciplukan di sawah sebelah rumah. Diajak
metik buah menteng, jambu, sawo. Gali-gali pasir dan tanah. Main-main
air di sungai kecil dekat rumah. Atau ngintipin kalkun punya Pak lik.
Dan hal lainnya. Hingga akhirnya saya teralihkan dan asyik beraktivitas.
Berbeda dengan sekarang. Jika kangen Bapak, meski tidak bisa langsung mendatangkannya, K bisa dengan mudah menghubunginya.
Jika
mengingat apa yang saya alami dulu rasanya ingin sekali mengenalkan
romantisme 'seni menunggu' padanya. Bukan sekadar untuk mengisi waktu
menunggu sebenarnya. Namun juga untuk mengingatkan pada diri saya
sendiri, bahwa ada PR untuk mengeksplore dan mengenalkan lingkungan
sekitar padanya. Bahwa ada berbagai pelajaran dasar penting yang perlu
ia tahu dari alam nyata yang nampak sederhana. Sebelum ia mendarat di
alam digital yang nampak modern dan mutakhir itu.
![]() |
sawah ujung desa |
![]() |
K |
Bukankah
saya masih cukup beruntung? Meskipun desa ini sudah cukup berubah
karena pembangunan. Namun masih ada alam yang belum seutuhnya
termodernisasi dan masih bisa dinikmati.
Semoga bisa memberikan banyak waktu bagi K untuk lebih mengenal alam. Sebelum kelak benar-benar menemani dan mengantarkan menyambut "alam digitalnya".
Salam,
Kachan
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*terinspirasi dari tulisan mak Indah Juli "Internet, Anak, dan Orang tua" dalam rangka KEB Collaborative Blogging
Iya ya mak... betapa kehidupan generasi zaman dulu itu beda sama zaman anak sekarang. Dulu mau menelepon aja harus mendaki gunung, lewati lembah. Kalau sekarang, tinggal pencet handset di genggaman. Semangat LDR, mak! ^_^
ReplyDeleteahahaa bener. makasih yaa. semangaaat ;D
DeleteAaah teringat jaman kuliah. Pacar telponnya jam 11 malem biar dapat diskon. Telpon kos2an ditaruh diruang keluarga ibu kos. Nggak bisa sayang2an.
ReplyDeletebuahahahahaaa....ga kebayang yg diobrolin trus apa ;p
DeleteSeni menunggu itu juga kita alami pada masa 'surat-suratan' lebih populer dari 'telfon-telfonan' ya mak. Menunggu kabar bisa lebih lama waktu itu. Jadi kita menyibukkan diri dengan beli kartu-kartu ucapan untuk dikirim, kertas-kertas yang wangi juga nungguin pak pos ke rumah :D #eh kita sezaman nggak sih ^^
ReplyDeleteAsik memang kalau tinggal di lingkungan yang masih hidup ya mak..
ahahaaaa enggaaa mak *kabooor*
Deletedulu cuma ngamatin kakak2 sih hihi....yang sibuk surat2an dengan kertas yang harum2 haha
Duh,
ReplyDeletemerasa jleb banget baca postingan ini lhooo...
Jaman berubah, sekarang era digital dan semua serba cepat hampir bisa dibilang instan.
Bener banget ini tulisannya, kita jadi hampir lupa esensi dari kata sabar dan menunggu karena semuanya serba dimudahkan yaaah..
Ow em ji, udah lama banget gak denger kata wartel hahaha..
*tukang ngumpulin koin buat nelfon ke radio buat minta lagu lewat telfon umum*
iyaaaa bener. saya sendiri skrg jadi kurang sabaran kalo nunggu :(
Deletehaha wartel idola setelah telpon umum memudar XD
Setuju banget sama tulisan ini mba. Terkadang perubahan zaman membuat saya rindu dengan masa lalu.
ReplyDeleteIyaaa. tp masa lalu memang bisanya dirindukan ya :D.
DeleteHihihi..iya yak..dulu suka ga sabar nunggu2 pak pos...nunggu surat.
ReplyDelete