SLIDER

Pantai Baron - Menangkap Frekuensi Kebaikan di Sana

Pantai Baron adalah salah satu dari paket 3 serangkai pantai primadona dari Gunung Kidul yang cukup tinggi pamornya diera 90an: Baron - Kukup - Krakal.  


Bukan berati sekarang Baron menjadi redup wisatawan. Ia tetap memiliki pesona tersendiri. 
Barisan pepohonan rindang yang menyambut di awal gerbang masuk adalah salah satunya. Gelaran-gelaran tikar akan penuh terisi wisatawan di pelatarannya yang memang sejuk karena angin dari pepohonan. Mereka akan duduk-duduk sambil memesan makanan dan minuman dari warung-warung sekitar. 

Daya tarik lain adalah sungai air tawar  di bagian Barat yang bermuara ke pantainya. Sungai yang berwarna hijau nampak cantik saat bertemu dengan laut yang kebiruan. Ini juga tempat favorit wisatawan untuk bermain air.

Sisi Timur juga tidak lepas menjadi perhatian beberapa wisatawan. Mercusuar yang ada di atas tebingnya menjadi tujuan. Wisatawan bisa naik dari tangga kayu yang dipasang di tebing untuk ke sana.

sisi timur pantai baron
sisi barat pantai baron
 ***
Dan, buat saya, Pantai Baron akan selalu punya tempat tersendiri. 


Pada suatu pagi di awal 2009, saya dan teman-teman dari tim divisi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPM), Palapsi, berpencar di sekitar Pantai Baron. Tugas kami, memilih subjek untuk diobservasi dan diwawancara. Target tim kami hari itu, mendapatkan tuan rumah yang sesuai dan  mau menampung kami di Pantai Baron ke depannya.

Dan hari itu semesta mempertemukan kami dengan Bu Lastri dan Pak Suyit.  

Begitulah, maka beberapa kali akhir pekan dalam kurun waktu sekitar 3 bulan saya dan tim PPM menumpang di rumah keluarga Pak Suyit dan Ibu Lastri. Mereka tidak tinggal di pantai melainkan di desa yang berjarak sekitar 3-4 km, begitu pula dengan para pedagang maupun nelayan lainnya. Tidak semua tinggal di pantai. 

Maka di pagi hari, kami, sekumpulan gadis-gadis remaja ini pasti sudah siap dan wangi. Kemudian melenggang dengan manis ke gardu pinggir jalan untuk menunggu angkot yang lewat. Syukurlah, kami tidak perlu berjalan kaki. 

Seharian akan kami habiskan untuk mengumpulkan data. Mewawancara pedagang, nelayan, pegawai SAR, ataupun perangkat desa. Sisanya tentu saja kami habiskan dengan  banyak hal. Menikmati sungai, gardu pandang, dan pantai. Nimbrung di warung Ibu sambil minum kelapa muda. Mengganggu Bapak Suyit dan Mas Yadi, anaknya, yang sedang membenahi jala dan kapal untuk melaut. Memilah-milah kerajinan tangan asli pantai di warung Mba Nur, menantu ibu dan bapak. Tentunya dapat harga sangat miring :) 

Sore hari kami tidak pulang dengan angkot karena sudah tidak ada. Kami pulang bersama-sama dengan warga lainnya menggunakan mobil sejenis pick up. Di dalamnya pasti sudah menunggu segunung rumput yang dibawa untuk makan ternak. Sisanya kami menyesuikan diri saling berhimpit-himpitan dengan yang lain.

Keluarga Bapak dan Ibu sangat hangat menerima kami. Kami biasa bersenda gurau dengan anggota keluarga dan juga saudara-saudara yang ada di sekitar rumah. Bapak memang terkesan pendiam, tapi punya segudang cerita. Kami suka mendengarkan kisah Bapak saat masih menjadi nahkoda kapal yang berlayar ke Pulau-pulau lain. Juga sangat betah menyimak kisah-kisah seputar pantai, baik mitos maupun realita. Atau bantu Ibu numis walang (belalang) buat lauk pauk. Eh sebenarnya, yang rajin bantu Ibu cuma Mba Pipit, sedangkan yang lain  tinggal makan hehe.
ramainya akhir pekan di baron
Meski tidak intens berkomunikasi saya dan keluarga Bapak Suyit masih menjalin silahturahmi. Semenjak itu beberapa kali saya datang ke Baron untuk sebuah acara. Tentu saja menyempatkan diri untuk bertemu Bapak dan Ibu. Termasuk Minggu kemarin saat saya ikut piknik sedesa. 

Ibu Lastri sudah punya warung permanen di dekat parkiran. Letaknya di sisi Timur, bertuliskan 'Ibu Lastri'. Menunya segala macam olahan laut yang segar karena Pantai Baron punya pasar ikan sendiri. Jika ke Baron, kalian harus mampir, masakannya tentu saja sedap dan enak. Ibu juga masih punya warung minuman di pinggir pantai. Juga di sisi Timur tepat di bawah tangga ke tebing. 

ibu lastri
bapak suyit
Ibu, masih dengan wajah yang tidak berubah sejak dulu. Selalu heboh dan ramah saat bertemu lagi. Bapak, masih dengan senyum sumringahnya tengah menjalin benang untuk membuat jala di tempat kerjanya, di atas tebing, ketika saya menghampiri. Mas Yadi, sedang sibuk di Kantor SAR membantu mengingatkan wisatawan akan bahaya air yang sedang pasang. 

Kabar Mba Nur, adalah yang mengagetkan dan membuat saya terdiam. Mba Nur, sudah kembali pada yang Maha Memberi beberapa bulan yang lalu. Meninggalkan suami, seorang anak, bapak, ibu, dan kami semua. Semoga Mba Nur yang baik mendapat tempat terbaik di SisiNya. Aamiin ya robbal alamin.
 ***
Saya percaya, setiap orang memancarkan kebaikan. Dan kebaikan yang tulus akan mengantarkan frekuensi yang berbeda. Beruntung kami bisa menangkap pancaran frekuensi  itu sejak awal bertemu dengan keluarga ini. 

Terimakasih selalu, Keluarga Bapak Suyit.

Salam, 


Kachan 

9 comments

  1. Oooh kamu dulu palapsi to. Di kosku dulu banyak yg palapsi tapi tentu saja angkatan dinosaurus :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh ya tho? sekos atau mak lusi pemilik kosnya? siapa mak, meski dari dinosaurus sampe jaman jaman hello kitty biasanya tetep saling kenal ;D

      Delete
  2. Aah sweet.. Jadi rindu 'rumah satu bulan'ku di kampung naga, tasik.. :(

    ReplyDelete
  3. Pantai Baron sekarang sudah rame ya Mak

    ReplyDelete
  4. Pantai Baron sekarang sudah rame ya Mak

    ReplyDelete
  5. ih seru ya kayaknya main ke pantai baron

    ReplyDelete
  6. Bagaimana kondisi pantai Baron di masa pandemi ya? Tulisanmu bagu banget, serasa masuk mesin waktu doraemon.

    Terima kasih Ibu Kurnia

    ReplyDelete

© People & Place • Theme by Maira G.